JAKARTA, KOMPAS.com — Sembilan importir film yang membawa masuk 250 judul ke Indonesia dalam dua tahun terakhir ini menunggak pajak dan bea masuk Rp 30 miliar, belum termasuk denda. Jumlah tunggakan akan membengkak karena denda atas keterlambatan pembayarannya bisa mencapai 1.000 persen dari pokok tunggakan.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengungkapkan hal itu di Jakarta, Kamis (24/2/2011).
Menurut Agus, bagian yang harus diperjelas adalah masalah penetapan nilai pabean film impor. Selama ini importir hanya menetapkan nilai pabean atas dasar panjang rol film, yakni 0,43 dollar AS per meter. Itu yang menjadi dasar pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22.
Padahal, sebagai sebuah karya cipta, film memiliki keunikan dibandingkan dengan barang lain. Selain membayar ketiga pungutan tadi, importir film juga harus memperhitungkan nilai pabean yang didasarkan atas hak ciptanya, yakni royalti yang dibayarkan kepada produsen film di luar negeri. Atas dasar ini, importir dikenai lagi bea masuk sebesar 10 persen, PPN 11 persen, dan PPh Pasal 26 sebesar 2,75 persen, atau total 23,75 persen.
”Jika perhitungan pungutan itu hanya didasarkan atas panjangnya rol film, satu judul film hanya menyetor Rp 13 juta per salinan film. Padahal, satu film bisa mencapai 60.000 dollar AS,” kata Agus.
Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Thomas Sugijata mengatakan, sebelumnya, Badan Pertimbangan Perfilman Nasional melaporkan ada 52 judul film paling laris yang beredar di Indonesia pada periode 2009-2010. Seluruhnya diperbanyak menjadi 1.780 salinan film sehingga total pembayaran royalti pada periode itu mencapai Rp 570 miliar.
”Namun, dalam audit yang di lakukan, sebenarnya ada 250 judul film yang masuk, baik yang box office (film laris) maupun film biasa. Hasil audit menunjukkan adanya tunggakan Rp 30 miliar, belum termasuk dendanya,” tutur Thomas. (OIN)